Oleh Aprilia*
Nampaknya, rasa memiliki kita pada bangsa ini, semakin lama semakin habis terkikis oleh zaman. Rapuh dimakan usia. Tak ada lagi penjajahan memang, tapi kita terlalu ramah dengan segala kebebasan yang ada di depan mata. Bukanlah penjajah yang menjadi musuh besar kita saat ini, tapi diri kita sendiri. Sejauh mana kita peduli dengan Bangsa ini?
Semakin hari, semakin nampak banyak saja kemalangan Ibu Pertiwi. Pemberitan di media massa dan elektronik jarang mewartakan kabar gembira. Mulai dari bencana alam, korupsi yang tak pernah tuntas, maraknya pelecehan seksual, tingkat pendidikan dan kesehatan yang tidak merata, hingga jumlah pengangguran yang kian menggunung, selalu menjadi headline di kebanyakan media. Memang miris sekali, setiap mendengar masalah – masalah yang kian hari kian bertambah di Negeri ini. Terlebih lagi, hal itu diperparah dengan anggapan sebagian masyarakat bahwa Indonesia sudah tak memiliki nilai positif.
Suatu rasa kepedulian tentu tidak bisa dibuktikan hanya dengan duduk berdiam diri, mengamati berita di Televisi, ataupun membaca koran sambil menyesap kopi hangat, dan hanya mampu berkomentar pada apa yang diberitakan. Sebagian besar masyarakat selalu menilai bahwa seluruh segi kehidupan di Indonesia sudah tak ada yang dapat dibanggakan. Tampaknya, untuk menjadi bagian dari merah putih saja, mereka begitu enggan. Apalagi untuk memutar otak menangani masalah yang timbul kepermukaan. Mereka yang lebih memilih merantau di Negeri orang, tak sedikit yang lupa akan tanah kelahirannya. Tanah Air yang selama ini membesarkannya, dengan mudah ia tinggalkan hanya karena tergiur tawaran di seberang sana.
Ibu pertiwi yang selama ini memberikan penghidupan kepada kita hanya mampu meneteskan air mata, melihat pejuang – pejuang bangsanya yang mulai tenggelam terbawa arus globalisasi. Mengingat perjuangan pahlawan bangsa berpuluh – puluh tahun silam, rasanya tak pantas jika kita masih bisa berpangku tangan dan hanya mengeluh dengan kondisi bangsa ini.
Hal ini menjadi bukti otentik dari penurunan rasa peduli kita pada Tanah Air Indonesia. Tak ada larangan bagi kita untuk menuntut ilmu di negeri orang, tak ada pula aturan yang melarang kita mencari nafkah di sana, dan bukan suatu hal yang memalukan apabila semua yang kita lakukan, mampu kita dedikasikan untuk bangsa ini, untuk tanah air ini, dan untuk merah putih.
Perasaan kecewa adalah suatu hal yang wajar. Tetapi, akan jauh lebih bermanfaat bila rasa kecewa tersebut mampu melahirkan semangat juang yang tinggi dalam membenahi masa depan bangsa. Kita semua tahu atau bahkan pernah melihat dengan mata kepala kita sendiri, seberapa parah kondisi Negeri ini. Jangan sampai kita memperparah kondisi itu dengan terus melontarkan umpatan – umpatan kekecewaan akan bangsa ini.
104 tahun sudah berlalu, saat organisasi Boedi Oetomo menjadi momok awal Kebangkitan Bangsa. Organisasi pertama Indonesia di masa penjajahan Belanda, yang mampu membuktikan bahwa mereka masih peduli dengan bangsa ini, masih memiliki bangsa ini, dan masih memiliki semangat kebangsaan.
Jangan pernah lupa bahwa kita hidup di atas tanah Indonesia, kita makan dan minum dari hasil bumi Indoneia, kita belajar dan bekerja di bawah langit Indonesia. Cukuplah sudah kita mengumpat dan mencaci maki keburukan negeri ini. Bangsa ini sudah terlalu ‘kenyang’ dengan itu semua, kawan.
Indonesia tak lagi butuh keluh kesah dari kita, juga tak ingin melihat kemalasan kita. Ia hanya menginginkan bukti dari kepedulian kita. Kepedulian yang akan terus menorehkan warna dalam sejarah. Bangsa ini membutuhkan kita untuk kembali bangkit dari keterpurukan modern. Dengan semangat Kebangkitan Bangsa, yakinlah bahwa kita mampu jika besama.
*Reporter LPM Agrica